Teknologi chip atau semikonduktor adalah salah satu sektor industri yang paling penting dan strategis di dunia. Chip digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari komputer, smartphone, hingga kendaraan pintar. Namun, tidak semua negara memiliki kemampuan untuk memproduksi chip dengan teknologi yang canggih dan kompetitif.
Salah satu negara yang sedang berusaha untuk meningkatkan kapasitas dan kualitas produksi chip-nya adalah China. China merupakan pasar chip terbesar di dunia, namun sebagian besar chip yang digunakan di China masih bergantung pada impor dari negara-negara lain, terutama Amerika Serikat (AS).
China menyadari bahwa ketergantungan ini dapat menjadi ancaman bagi keamanan dan kedaulatan nasionalnya, terutama di tengah ketegangan perdagangan dan geopolitik dengan AS. Oleh karena itu, China berambisi untuk mencapai kemandirian dan kepemimpinan dalam industri semikonduktor, dengan menginvestasikan miliaran dolar untuk mendirikan dan mendukung perusahaan-perusahaan chip lokal.
Namun, upaya China ini ternyata tidak mudah dan tidak lancar. China menghadapi berbagai hambatan dan tantangan, baik dari dalam maupun dari luar. Salah satu hambatan terbesar adalah sanksi yang diberlakukan oleh AS, Jepang, dan Belanda terhadap sektor produksi semikonduktor China.
Sanksi ini bertujuan untuk membatasi akses China terhadap teknologi, peralatan, dan bahan baku yang dibutuhkan untuk memproduksi chip dengan teknologi proses yang lebih canggih. Teknologi proses adalah ukuran yang menunjukkan seberapa kecil dan rapat transistor yang dapat dibuat pada sebuah chip. Semakin kecil dan rapat transistor, semakin cepat dan hemat energi chip tersebut.
Saat ini, teknologi proses terdepan di dunia adalah 5 nanometer (nm), yang dimiliki oleh dua perusahaan raksasa semikonduktor, yaitu Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC) dan Samsung Electronics. Sementara itu, China masih tertinggal jauh di belakang, dengan teknologi proses terbaiknya adalah 14 nm.
CEO Intel, Pat Gelsinger, meyakini bahwa sanksi yang diberlakukan oleh AS, Jepang, dan Belanda telah berhasil menghambat perkembangan teknologi proses di China di atas 7 nm. Menurutnya, China masih butuh waktu sekitar sepuluh tahun untuk mengejar ketertinggalannya dalam industri semikonduktor.
Baca Juga: Google Rancang Tensor G5, Chipset dengan AI Canggih
Faktor yang Menghambat Pertumbuhan Teknologi Chip China
Salah satu penyebab utama teknologi chip China tertinggal adalah kebijakan ekspor yang diterapkan oleh negara-negara produsen alat produksi chip, seperti Belanda, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan AS. Kebijakan ini menetapkan batas pada rentang 10 hingga 7 nm untuk industri semikonduktor China, yang berarti China tidak dapat membeli atau menggunakan alat produksi chip yang lebih canggih dari rentang tersebut.
Alat produksi chip yang paling krusial adalah mesin litografi ekstrim ultraviolet (EUV), yang dibuat oleh perusahaan Belanda, ASML. Mesin ini dapat membuat pola transistor yang sangat kecil dan presisi pada chip, dengan menggunakan sinar laser EUV. Mesin ini dibutuhkan untuk memproduksi chip dengan teknologi proses 7 nm atau lebih rendah.
Namun, ASML tidak dapat menjual mesin EUV-nya ke China, karena Belanda tidak memberikan izin ekspor, atas tekanan dari AS. AS khawatir bahwa China akan menggunakan teknologi EUV untuk kepentingan militer atau untuk mengancam keunggulan teknologi AS.
Selain alat produksi, China juga kesulitan mendapatkan bahan baku yang berkualitas untuk memproduksi chip, seperti wafer silicon, gas, resist, dan bahan kimia lainnya. Sebagian besar bahan baku ini berasal dari Jepang, yang juga memberlakukan pembatasan ekspor terhadap China, karena alasan keamanan nasional.
Tanpa akses ke alat produksi dan bahan baku yang canggih, China harus mengandalkan kemampuan dan sumber daya domestiknya untuk mengembangkan teknologi chip-nya sendiri. Namun, hal ini tidak mudah dilakukan, karena China masih kekurangan tenaga ahli, pengalaman, dan penelitian di bidang semikonduktor.
Dampak dan Tantangan Teknologi Chip China
Teknologi chip China yang tertinggal memiliki dampak dan tantangan yang signifikan, baik bagi China sendiri maupun bagi dunia. Bagi China, teknologi chip yang tertinggal berarti China tidak dapat memenuhi kebutuhan dan permintaan chip-nya sendiri, terutama untuk sektor-sektor strategis, seperti telekomunikasi, komputasi awan, kecerdasan buatan, dan internet of things.
China juga tidak dapat bersaing dengan negara-negara lain dalam hal inovasi dan kreativitas, karena chip yang canggih adalah fondasi untuk menciptakan produk dan layanan yang baru dan lebih baik. Selain itu, China juga rentan terhadap gangguan pasokan chip dari luar, yang dapat mempengaruhi stabilitas dan pertumbuhan ekonominya.
Bagi dunia, teknologi chip China yang tertinggal juga menimbulkan masalah dan ketidakpastian. Salah satunya adalah potensi konflik dan eskalasi ketegangan antara China dan AS, yang dapat memicu perang dagang atau bahkan perang teknologi. Perang ini dapat merugikan kedua negara, serta negara-negara lain yang terlibat atau terpengaruh.
Selain itu, teknologi chip China yang tertinggal juga dapat mengurangi keragaman dan persaingan dalam industri semikonduktor global, yang dapat menurunkan kualitas dan ketersediaan chip di pasar. Hal ini dapat menghambat perkembangan dan penyebaran teknologi baru, yang dapat bermanfaat bagi kesejahteraan dan kemajuan umat manusia.
Harapan dan Peluang Teknologi Chip China
Meskipun tertinggal, China tidak menyerah untuk meningkatkan teknologi chip-nya. China tetap terus berinvestasi dan berinovasi dalam industri semikonduktor, dengan tujuan untuk mencapai kemandirian dan kepemimpinan dalam bidang ini. China juga berusaha untuk merancang dan memproduksi alat produksi chip dan bahan baku chip secara domestik, tanpa bergantung pada impor dari luar.
Salah satu contoh upaya China adalah pembangunan fasilitas produksi chip terbesar di dunia, yang bernama China IC Park. Fasilitas ini berlokasi di kota Nanjing, dan diharapkan dapat memproduksi chip dengan teknologi proses 28 nm hingga 14 nm, dengan kapasitas 100.000 wafer per bulan, pada tahun 2024.
Selain itu, China juga memiliki beberapa perusahaan chip yang berpotensi untuk menjadi pemain global, seperti Semiconductor Manufacturing International Corporation (SMIC), Yangtze Memory Technologies Co. (YMTC), dan HiSilicon. Perusahaan-perusahaan ini memiliki produk dan layanan yang berkualitas dan kompetitif, seperti chip untuk smartphone, memori, dan kecerdasan buatan.
Namun, China juga menyadari bahwa untuk mencapai tujuannya, China tidak dapat bekerja sendiri. China membutuhkan kerjasama dan kolaborasi dengan negara-negara lain, terutama dalam hal pertukaran teknologi, pengetahuan, dan sumber daya. China juga harus menghormati dan mematuhi aturan dan standar internasional yang berlaku di industri semikonduktor, serta menjaga hubungan yang baik dan harmonis dengan negara-negara lain, terutama AS.
CEO Intel, Pat Gelsinger, mengakui bahwa China adalah salah satu mitra dan pelanggan penting bagi Intel, dan bahwa Intel tidak ingin memutuskan hubungan dengan China. Ia juga mengatakan bahwa meskipun China akan terus berinovasi, industri semikonduktor adalah industri yang sangat terkoneksi, dan keterlambatan sepuluh tahun ini dianggap berkelanjutan dengan kebijakan ekspor yang ada.
Kesimpulan
Teknologi chip China merupakan salah satu isu yang penting dan aktual di dunia saat ini. China memiliki ambisi besar untuk menjadi negara yang mandiri dan unggul dalam industri semikonduktor, yang merupakan kunci untuk perkembangan teknologi dan ekonomi. Namun, China juga menghadapi banyak hambatan dan tantangan, baik dari dalam maupun dari luar, yang membuat teknologi chip-nya tertinggal sekitar sepuluh tahun dari negara-negara lain, terutama AS.
Namun China tidak menyerah untuk terus meningkatkan teknologi chip-nya, dengan berinvestasi dan berinovasi secara besar-besaran. China juga berusaha untuk merancang dan memproduksi alat produksi chip dan bahan baku chip secara domestik, tanpa bergantung pada impor dari luar. Selain itu, China juga menyadari bahwa untuk mencapai tujuannya, mereka membutuhkan kerjasama dan kolaborasi dengan negara-negara lain, serta menghormati dan mematuhi aturan dan standar internasional yang berlaku di industri semikonduktor.