Starlink Indonesia: Internet Satelit Ciptaan Elon Musk yang Siap Merambah Nusantara

Adi Kusanto
Ilustrasi satelit Starlink Indonesia
Ilustrasi Internet satelit | Sumber: Pixabay

Starlink Indonesia – Internet satelit merupakan salah satu solusi untuk mengatasi masalah keterbatasan akses internet di berbagai wilayah, terutama yang sulit dijangkau oleh jaringan kabel atau nirkabel. Dengan menggunakan satelit sebagai media transmisi, internet satelit dapat menjangkau hampir seluruh permukaan bumi, tanpa tergantung pada infrastruktur darat.

Salah satu penyedia layanan internet satelit yang sedang gencar mengembangkan teknologinya adalah Starlink, sebuah proyek ambisius yang digagas oleh Elon Musk, pendiri dan CEO dari SpaceX, perusahaan antariksa swasta terkemuka di dunia. Starlink bertujuan untuk menciptakan konstelasi satelit orbit rendah (LEO) yang dapat menyediakan internet berkecepatan tinggi, andal, dan terjangkau ke seluruh penjuru dunia.

Starlink telah meluncurkan lebih dari 1.700 satelit ke orbit bumi sejak tahun 2019, dan berencana untuk meluncurkan hingga 42.000 satelit pada akhir proyeknya. Starlink juga telah memulai layanan beta publik di beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Jerman, Perancis, Spanyol, Portugal, Denmark, Meksiko, dan lainnya.

Namun, bagaimana dengan Indonesia? Apakah Starlink akan segera hadir di Tanah Air? Bagaimana prospek dan tantangan yang dihadapi oleh Starlink di Indonesia? Berikut ulasan lengkapnya.

Rencana Kedatangan Starlink di Indonesia

Menurut peta jangkauan area Starlink (Starlink Map) yang dapat diakses melalui situs web resminya, Starlink direncanakan akan masuk ke Indonesia pada tahun 2023. Namun, tanggal dan bulan pastinya belum diketahui secara pasti.

Meski demikian, Starlink sudah bisa dipesan oleh calon pelanggan di Indonesia melalui situs web tersebut. Calon pelanggan harus membayar uang deposit sebesar US$ 99 atau sekitar Rp 1,4 juta (kurs Rp 14.400) untuk memesan layanan Starlink. Uang deposit ini dapat dikembalikan jika calon pelanggan batal berlangganan.

Selain itu, calon pelanggan juga harus membeli perangkat khusus yang disebut Starlink Kit untuk dapat menggunakan layanan internet Starlink. Starlink Kit terdiri dari parabola satelit (dish), router Wi-Fi, kabel daya, dan tripod. Harga Starlink Kit adalah US$ 499 atau sekitar Rp 7,2 juta (kurs Rp 14.400).

Jadi, total biaya awal yang harus dikeluarkan oleh calon pelanggan Starlink di Indonesia adalah sekitar Rp 8,6 juta. Belum termasuk biaya langganan bulanan yang diperkirakan berkisar antara US$ 90 hingga US$ 120 atau sekitar Rp 1,3 juta hingga Rp 1,8 juta per bulan.

Keunggulan dan Kelemahan Starlink

Starlink menawarkan beberapa keunggulan dibandingkan dengan layanan internet satelit konvensional. Pertama, Starlink menggunakan satelit orbit rendah (LEO) yang berjarak sekitar 550 km dari permukaan bumi. Jarak ini lebih dekat dibandingkan dengan satelit orbit geostasioner (GEO) yang biasanya digunakan oleh penyedia internet satelit lainnya.

Dengan jarak yang lebih dekat, Starlink dapat mengurangi latensi atau waktu tunda dalam mengirim dan menerima data. Latensi rendah sangat penting untuk mendukung aplikasi-aplikasi yang membutuhkan respons cepat, seperti video call, game online, atau cloud computing.

Starlink mengklaim bahwa latensinya berkisar antara 20 hingga 40 milidetik (ms), sedangkan layanan internet satelit konvensional memiliki latensi sekitar 600 ms. Untuk perbandingan, layanan internet fiber optik di Indonesia memiliki latensi sekitar 10 hingga 20 ms.

Kedua, Starlink memiliki kecepatan internet yang setara dengan fiber optik, yaitu sekitar 100 hingga 150 megabit per detik (Mbps). Kecepatan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan layanan internet satelit konvensional yang rata-rata hanya sekitar 25 Mbps. Untuk perbandingan, kecepatan internet rata-rata di Indonesia adalah sekitar 20 Mbps.

Baca Juga: Duh Mahal! Ini Perbandingan Tarif Internet di Indonesia dengan Negara Lain di Asia Tenggara

Ketiga, Starlink memiliki kapasitas jaringan yang besar, berkat jumlah satelitnya yang sangat banyak. Dengan kapasitas jaringan yang besar, Starlink dapat melayani lebih banyak pelanggan dengan kualitas yang baik. Starlink juga dapat menjangkau wilayah-wilayah yang sulit dijangkau oleh jaringan internet lainnya, seperti daerah pedesaan, pegunungan, pulau-pulau terpencil, atau bahkan lautan.

Keempat, Starlink memiliki kemampuan untuk mendukung layanan 5G, teknologi seluler generasi kelima yang menjanjikan kecepatan dan kapasitas jaringan yang sangat tinggi. Starlink dapat berfungsi sebagai backhaul untuk jaringan 5G, yaitu jalur transmisi antara stasiun pangkalan (base station) dengan pusat jaringan (network core).

Dengan menggunakan Starlink sebagai backhaul, penyedia layanan seluler dapat memperluas jangkauan jaringan 5G mereka ke wilayah-wilayah yang tidak terjangkau oleh fiber optik atau microwave. Starlink juga dapat berkolaborasi dengan penyedia layanan seluler untuk menyediakan layanan roaming internasional bagi pelanggan mereka.

Namun, Starlink juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan. Pertama, Starlink membutuhkan perangkat khusus yang cukup mahal untuk dapat menggunakannya. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pelanggan harus membeli Starlink Kit seharga US$ 499 atau sekitar Rp 7,2 juta. Harga ini belum termasuk biaya instalasi dan pemeliharaan.

Kedua, Starlink masih menghadapi masalah hukum dan regulasi di beberapa negara, termasuk Indonesia. Salah satu masalahnya adalah mengenai hak labuh satelit (landing rights), yaitu izin untuk menggunakan frekuensi radio untuk menghubungkan satelit dengan stasiun bumi.

Di Indonesia, hak labuh satelit diberikan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) melalui proses lelang. Namun, proses lelang ini hanya berlaku untuk satelit orbit geostasioner (GEO), bukan satelit orbit rendah (LEO) seperti Starlink.

Untuk mengatasi masalah ini, Kominfo telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 4 Tahun 2021 tentang Hak Labuh Satelit Khusus Non Geostationer (NGSO). Peraturan ini memberikan kewenangan kepada Kominfo untuk memberikan hak labuh satelit khusus kepada penyedia layanan internet satelit NGSO seperti Starlink.

Namun, peraturan ini juga memberikan syarat bahwa penyedia layanan internet satelit NGSO harus bekerja sama dengan operator satelit lokal yang telah memiliki izin usaha penyelenggaraan jasa telekomunikasi. Dengan demikian, Starlink tidak bisa menjual layanan internetnya secara langsung ke pelanggan di Indonesia.

Untuk itu, Starlink telah menjalin kerja sama dengan Telkomsat, anak perusahaan dari Telkom Indonesia, yang telah mendapatkan hak labuh satelit khusus NGSO dari Kominfo. Melalui kerja sama ini, Telkomsat akan menjadi mitra eksklusif Starlink di Indonesia.

Ketiga, Starlink masih menghadapi tantangan teknis dan operasional dalam menyediakan layanan internet satelit yang stabil dan andal. Salah satu tantangannya adalah mengenai interferensi atau gangguan sinyal antara satelit-satelit Starlink atau antara satelit-satelit Starlink dengan satelit-satelit lainnya.

Interferensi ini dapat menyebabkan penurunan kualitas layanan atau menyebabkan pemutusan layanan atau bahkan kerusakan satelit. Untuk menghindari interferensi ini, Starlink harus mengatur frekuensi, polarisasi, dan arah sinyal yang digunakan oleh satelit-satelitnya dengan cermat.

Selain itu, Starlink juga harus mengatasi masalah sampah antariksa (space debris) yang dapat menabrak satelit-satelitnya. Sampah antariksa adalah benda-benda buatan manusia yang mengorbit bumi tanpa fungsi, seperti roket bekas, satelit mati, atau pecahan-pecahan dari tabrakan antariksa.

Sampah antariksa dapat menimbulkan risiko besar bagi satelit-satelit Starlink yang bergerak dengan kecepatan tinggi di orbit rendah. Jika terjadi tabrakan, satelit Starlink dapat rusak atau hancur, dan menambah jumlah sampah antariksa yang ada.

Untuk mengatasi masalah ini, Starlink telah mendesain satelit-satelitnya dengan fitur-fitur khusus, seperti sistem propulsi untuk menghindari tabrakan, sistem navigasi untuk mengikuti posisi satelit lainnya, dan sistem deorbit untuk membakar satelit di atmosfer bumi jika sudah tidak berfungsi.

Namun, fitur-fitur ini belum sepenuhnya sempurna dan masih membutuhkan pengawasan dan koordinasi yang ketat dari SpaceX dan otoritas antariksa lainnya. Selain itu, Starlink juga harus berkontribusi dalam upaya-upaya bersama untuk membersihkan sampah antariksa yang sudah ada.

Keempat, Starlink masih menghadapi persaingan yang ketat dari penyedia layanan internet lainnya, baik yang menggunakan teknologi satelit maupun yang tidak. Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa penyedia layanan internet satelit yang telah beroperasi sebelum Starlink, seperti Indosat Ooredoo, Biznet, Pasifik Satelit Nusantara (PSN), dan lainnya.

Penyedia layanan internet satelit ini mungkin tidak memiliki keunggulan teknologi seperti Starlink, tetapi mereka memiliki keunggulan dalam hal harga, pengalaman, dan jaringan. Mereka juga telah memiliki pelanggan setia di berbagai sektor, seperti pemerintahan, perbankan, pertambangan, perkebunan, perikanan, dan lainnya.

Selain itu, Starlink juga harus bersaing dengan penyedia layanan internet non-satelit, seperti operator seluler, penyedia jasa internet (ISP), atau penyedia jasa akses internet (PJI). Penyedia layanan internet non-satelit ini mungkin tidak dapat menjangkau wilayah-wilayah terpencil seperti Starlink, tetapi mereka dapat menawarkan harga yang lebih murah dan kualitas yang lebih stabil bagi pelanggan di wilayah-wilayah perkotaan atau padat penduduk.

Starlink juga harus mempertimbangkan faktor-faktor sosial dan budaya yang mempengaruhi perilaku konsumen di Indonesia. Misalnya, apakah konsumen Indonesia bersedia membayar biaya awal yang cukup mahal untuk menggunakan layanan Starlink? Apakah konsumen Indonesia membutuhkan kecepatan internet yang sangat tinggi seperti yang ditawarkan oleh Starlink? Apakah konsumen Indonesia peduli dengan isu-isu lingkungan antariksa yang ditimbulkan oleh Starlink?

Kesimpulan

Starlink adalah layanan internet satelit ciptaan Elon Musk yang siap merambah nusantara. Starlink memiliki beberapa keunggulan dibandingkan dengan layanan internet satelit konvensional, seperti latensi rendah, kecepatan tinggi, kapasitas besar, dan dukungan 5G.

Namun, Starlink juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan, seperti biaya mahal, masalah hukum dan regulasi, tantangan teknis dan operasional, serta persaingan ketat dari penyedia layanan internet lainnya.

Starlink direncanakan akan masuk ke Indonesia pada tahun 2023 melalui kerja sama dengan Telkomsat. Namun, tanggal dan bulan pastinya belum diketahui secara pasti. Calon pelanggan sudah bisa memesan layanan Starlink melalui situs web resminya dengan membayar uang deposit sebesar US$ 99 atau sekitar Rp 1,4 juta.

Starlink merupakan salah satu inovasi teknologi yang dapat memberikan manfaat bagi masyarakat Indonesia, terutama yang tinggal di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau oleh jaringan internet lainnya. Namun, Starlink juga harus bertanggung jawab atas dampak-dampak yang ditimbulkan oleh proyeknya, baik bagi lingkungan antariksa maupun bagi industri telekomunikasi di Indonesia.

Demikianlah artikel mengenai Starlink Indonesia. Saya berharap artikel ini dapat memberikan informasi yang berguna bagi Anda dan pembaca lainnya. 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *